Korupsi Menggurita, Buah dari Sistem Kapitalis Sekuler

Korupsi Menggurita, Buah dari Sistem Kapitalis Sekuler

Oleh : Syarifah, S.Pd (Komunitas Pena Ideologis Maros)

Lagi dan lagi kasus korupsi tak kunjung usai. Kini dilansir dari berita TRIBUNJATENG.COM – Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan sekaligus Calon Wakil Presiden nomor urut tiga, Mahfud MD mengungkapkan data mengejutkan terkait kasus korupsi di Indonesia. Dalam acara pidato di hadapan ribuan wisudawan Universitas Negeri Padang pada Minggu (17/12/2023), Mahfud MD menyatakan bahwa 84 persen koruptor yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lulusan perguruan tinggi.

Tamparan Keras Dunia Pendidikan

Data ini tentu saja menjadi perhatian serius bagi seluruh pihak, terutama dunia pendidikan. Sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam mendidik generasi muda, perguruan tinggi harus memastikan bahwa proses pendidikan yang diberikan tidak hanya berfokus pada aspek akademis, tetapi juga pada pembentukan karakter dan integritas moral. 

Kasus korupsi yang melibatkan lulusan perguruan tinggi menunjukkan bahwa ada kesenjangan antara pengetahuan akademis yang diperoleh dengan moralitas dan integritas yang seharusnya menjadi bagian integral dari pendidikan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan tinggi perlu melakukan evaluasi mendalam terkait dengan kurikulum, metode pengajaran, dan budaya akademik yang diterapkan.

Fakta tersebut sangat menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan saat ini. Lulusan perguruan tinggi seharusnya menjadi orang yang terdidik bukan malah menjadi pelaku korupsi (koruptor). Kita bisa melihat bahwa pendidikan kadang hanya berhenti sampai pada aspek kognisi saja atau pengetahuan, tidak membentuk kepribadian yang baik. Buktinya apa? Karena banyaknya lulusan perguruan tinggi yang menjadi pelaku korupsi.

UIY (Ustadz Ismail Yusanto / Akademisi, Cendikiawan Muslim) mengatakan bahwa pengetahuan itu satu hal sedangkan tindakan adalah hal yang lain. Namun seharusnya pendidikan itu menjadikan kita semakin terdidik, terbentuk kepribadian yang baik.

Demokrasi Melanggengkan Korupsi

Ini fakta realita dalam sistem kapitalis sekuler saat ini yang melahirkan sistem politik yang seolah tidak bisa dipisahkan dari praktik korupsi. Kasus korupsi yang terus menggurita, seolah tak pernah usai. Mengapa demikian? Jika kita menelisik lebih dalam sebenarnya bukan hanya semata terletak pada individu pejabatnya saja yang tidak bermoral. Tapi lebih dari itu, yang memang budaya korupsi lahir dari sistem politik demokrasi.

Mengapa dikatakan seperti itu karena, pertama sistem politik demokrasi lahir dari pemahaman sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Paham ini menyingkirkan agama dari kehidupan. Agama dipahami hanya sekedar mengatur perkara spiritual semata. Sekularisme menghilangkan nilai-nilai ketakwaan dari politik. Akibatnya dalam diri politisi, aparatur, dan pejabat tidak memiliki kontrol internal.

Pada akhirnya pemberantasan hanya bersandar pada kontrol eksternal seperti KPK. Namun, yang menjadi masalah karena hal ini sama-sama lahir dari sistem politik demokrasi. Sehingga melahirkan tabiat dan watak yang sama-sama jauh dari agama. Hal inilah yang menjadikan pada akhirnya malah menyuburkan tindakan korupsi.

Kedua, sistem demokrasi dalam hal ini sistem politiknya butuh biaya yang sangat tinggi. Untuk menjadi kepala daerah, politisi, apalagi menjadi presiden. Menduduki jabatan tersebut bukan hal yang mudah, melainkan menguras banyak biaya. Olehnya korupsi menjadi jalan untuk mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan sebelum menjabat. Sebab, jika mengandalkan gaji satu-satunya maka akan kurang mencukupi. Ditambah dengan gaya elite yang serba mewah. Biaya yang tinggi inilah yang mengundang para cukong politik untuk bisa terlibat dalam kontestasi.

Ketiga, hukuman untuk para koruptor dinilai tidak akan memberi efek jera. Sehingga pelaku terus tumbuh subur di negara ini. Rumah tahanan dengan fasilitas penjara yang begitu mewah. Belum lagi adanya pengurangan masa tahanan, inilah beberapa alasan mengapa kasus korupsi tidak akan pernah selesai di dalam sistem demokrasi ini. Justru sistem inilah yang menjadi biang kerok dari kejahatan korupsi.

Islam Membersihkan Semua

Untuk menghentikan perilaku korupsi tidak cukup hanya dengan pembentukan KPK. Sebab KPK sendiri lahir dari sistem politik demokrasi juga. Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada kita terkait tata cara memberantas korupsi. Setidaknya ada lima cara untuk memberantas korupsi dalam pandangan islam.

Pertama, dasar politik islam adalah akidah islam, bukanlah sekularisme (memisahkan agama dari negara). Akidah islam inilah yang akan mampu melahirkan ketakwaan individu, mampu mengawas dan mengontrol para politisi. Akan menjadi pencegahan pertama dari tindak korupsi.

Kedua, sistem politiknya tidak membutuhkan biaya yang tinggi. Hal ini akan mampu mencegah para cukong politik untuk melakukan korupsi.

Ketiga, tidak terikat dengan parpol (partai politik). Siapa saja yang telah terpilih menjadi pejabat, maka dia telah terlepas dari naungan parpol. Sehingga kekuasaan dan pemerintahan tidak tersandera pada parpol.

Keempat, struktur dalam pemerintahan islam berada pada satu kepemimpinan khalifah. Sehingga akan mudah dihindari ketika adanya absen peran pemimpin.

Kelima, hukum sanksinya yang bisa menimbulkan efek jera. Sanksi bagi para koruptor adalah berupa takzir yakni diserahkan kepada ijtihad khalifah dan qadhi (hakim). Seperti contoh yang pernah terjadi di masa Umar bin Abdul Aziz saat menjadi khalifah ia menetapkan sanksi koruptor berupa cambuk dan dipenjara dalam waktu yang sangat lama. Sehingga orang-orang pada saat itu akan berpikir seribu kali untuk berbuat tindakan korupsi.

Dengan demikian, satu-satunya solusi untuk bisa menyelesaikan kasus korupsi adalah dengan diterapkannya islam secara kaffah sebagai aturan untuk mengelola tatanan negara.

Wallahu a’laam bishshowwab …

via Blogger https://ift.tt/Ku13cPT

Leave a comment